Katanya “Hanya Bagus di Grenade!”
Grenade sudah
mengantarkan Fatin lolos audisi. Barulah permulaan yang sangat berat dirasa
gadis berkerudung ini. Fatin yang sudah terbiasa menyanyikan lagu Grenade seakan tidak bisa keluar dari
aura lagu tersebut. Bukan tidak belajar menjadi diri sendiri dan melupakan Grenade yang telah melambungkan namanya.
Fatin terlihat berusaha semaksimal mungkin belajar dan terus belajar. Tetapi
tetap belum bisa menghadirkan lagu yang lebih spektakuler.
Cibiran pun datang. “Fatin hanya
bagus di Grenade doang!”
Bisa saja cibiran itu benar. Selama
proses berjalannya acara ini belum pernah Fatin mempertontonkan lagu-lagu yang
lebih megah dari aslinya. Menurut sebagian orang yang katanya sangat mengerti
musik, lagu yang didendangkan Fatin terdengar jelek sekali. Tidak ada perubahan
apapun. Fatin tidak berkembang di bawah bimbingan Rossa. Fatin tidak mau
belajar. Fatin memang tidak layak lolos. Fatin tidak cocok jadi peserta acara ini.
Fatin cocok qasidahan saja. Fatin ini. Fatin itu. Berbagai ejekan dilayangkan
untuk gadis putih abu-abu ini tanpa melihat perjuangan dan usahannya mencapai
titik di mana semua orang yang bermimpi menjadi penyanyi berada.
Terlebih, ketika Dani lagi-lagi
memberikan argumen yang rasanya tidak perlu dipertanyakan.
“Lagu yang pertama kali kamu nyanyi
apa?”
“Grenade,”
“Oh, jadi Grenade?”
Intinya; Dani seakan ingin
mempertegas bahwa Fatin hanya bisa satu lagu. Bayangkan saja, spekulasi yang
muncul setelah itu. Fatin nyanyi dan kenal Grenade
sejak SMP dan merupakan lagu pertama yang disukai dan dinyanyikan. Mungkin
sudah berulang kali Fatin menyanyikan lagu ini. Sehingga tidak ada celah
menjelekkan Grenade versi Fatin. Toh,
dia sudah sangat hafal lekuk-leluk lagu yang menggambarkan marah itu!
Inilah letak kesalahan kita sebagai
pendengar. Suka pada pandangan pertama dan tidak peduli lagi pada pandangan
selanjutnya. Padahal klasifikasi di pandangan setelah pertama bisa menjadi
sebuah pembelajaran menghargai usaha. Si Fatin memang bisanya Grenade doang! Ya jelas karena sering
dinyanyikan. Untuk lagu-lagu selanjutnya, tentu tidak semua dengan Grenade. Pada Grenade Fatin belum terbebani apa-apa. Belum terpikir untuk tampil
maksimal dan mendapat juara. Fatin hanya nyanyi saja. Tanpa teknik macam-macam.
Ketika audisi lolos dan sudah
bersama orang-orang kompeten yang dipilih acara ini, maka Fatin yang tidak tahu
menahu akan sebuah pelajaran bermusik langsung terkejut. Betapa tidak? Dia
hanya bisa nyanyi. Lalu disuguhkan belajar teknik, dalam waktu mendesak dan
mulai dari nol. Rasanya bukan perkara mudah memulai pelajaran dalam waktu
sekejap dan ingin mendapatkan hasil maksimal. Tidak semudah membalik telapak
tangan. Ini bukan pura-pura macam skenario sebuah film setelah ditonton usai.
Fatin akan terus berada di alam nyata ini untuk menghibur penggemarnya yang
semakin hari semakin menggila.
Mulailah si Fatin menyanyikan lagu
lain selain Grenade. Dengan teknik
pas-pasan mumpung baru belajar. Berdiri di jutaan penonton di dalam ruangan
megah itu dan di rumah-rumah seluruh Indonesia. Panggung bukanlah ruang kelas
belajar, di mana dia sering menghibur teman-temannya saat waktu senggang. Di
awal penampilan dia berhasil tidak terjungkal dan pingsan. Apalagi dengan
kritikan pedas dari juri seakan menusuk hatinya; seperti telah mati berdiri.
Fatin masih tetap berada di panggung semerbak lampu itu tanpa memedulikan
lirikan syirik peserta yang tidak lolos.
Yakinlah, mereka yang tidak lolos
membenci Fatin setengah mati, sampai berdarah daging. Masa penyanyi yang hanya
bagus di Grenade itu lolos-lolos
terus ke babak selanjutnya. Apa juri telah tuli atau telah disogok? Nah lho?
Ini yang bahaya. Jika dilihat dari kemampuan keluarga, tentu Fatin tidak
sanggup menyogok keempat juri. Ayahnya hanya seorang pengawai pemerintahan yang
kalah jauh gajinya dibandingkan keempat juri. Mamanya hanya ibu rumah tangga
yang tidak punya penghasilan perbulan. Mana mungkin Fatin menyogok juri?
Sogok menyogok bukan soal bagi
Fatin. Daya tariknya sudah membuat orang terpikat untuk terus melihat
penampilannya. Dan Dani dengan Rossa sudah tentu tahu hal ini, mereka berdua
sudah malang melintang di industri musik Indonesia. Paham betul emas dan
imitasi dalam bermusik. Emas akan terlihat kilauannya walau baru pada pandangan
pertama – walau Rossa agak sinis di awal. Sedangkan imitasi lambat laun semakin
memudar. Semakin digosok semakin hilang kilaunya. Dan emas, semakin digosok
semakin berkilap. Kilauannya telah menyilaukan mata dan percikan suaranya telah
memanjakan telinga untuk terus mendengar dan mengamati setiap gerak tubuhnya.
Fals
Nyanyian Fatin masih seperti
itu-itu saja. Menurut mereka – sekali lagi – yang mengaku sangat mengerti musik
itu; Fatin semakin hari semakin jelek. Salah minum obat. Salah resep. Salah
Rossa sebagai mentor. Salah kru dibalik sang sukses ini. Salah semua di mata
mereka sebagai pengamat itu. Padahal mereka sendiri hanya sebagai penonton.
Beberapa kali kita lihat video mereka sedang latihan, tampak jelas lelah dan
berjuang memberikan yang terbaik di malam Sabtu. Menemani akhir pekan penonton
yang hanya menunggu penampilan Fatin, walau tampil terakhir tetap saja ditunggu
dan membuat error jangan internet
saat video shownya di upload.
Fatin lagi-lagi belajar dari
kritikan yang sudah dialamatkan kepadanya. Semakin terbeban untuk menampilkan
yang terbaik. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun kadang terdengar kacau balau,
kadang terdengar biasa saja, kadang malah jelek sekali. Karena alasan yang
sangat lemah, Fatin masih dibayang-bayangin Grenade
yang telah melambungkan namanya!
Setelah berhasil keluar dari
iming-iming Grenade dan menyanyi lagu
lain dengan menggunakan teknik, ternyata Fatin belum mampu menghipnotis kembali
para penonton yang sudah tidak sabar menunggu kedatangan “maha” yang mampu
meledakkan panggung hiburan tanah air, seperti pertama audisi. Teknik bernyanyi
belum mampu menyeimbangkan antara karakter vocal menjadi lebih bagus.
Belum lagi usai pada permasalahan –
katanya Fatin – tidak bagus, isu fals menjadi
masalah berikutnya. Beberapa lagu yang dinyanyikan Fatin terdengar fals di mana-mana. Fatin tidak mampu memberi
keseimbangan pada lagu yang sedang di
nyanyikannya. Akibat fals ini pula
nada-nada yang diambil Fatin, khususnya nada tinggi jadi tidak enak. Fals adalah sumbang, atau tidak tidak
selaras, tidak senada, dan tidak seirama. Fatin mengalami hal ini di awal-awal.
Pada nada rendah suaranya serak seseraknya, dan kadang menghilang. Pada nada
tinggi, sering tidak sampai.
Permasalahan ini muncul bukan
karena Fatin jelek. Karena tidak punya teknik. Dia baru saja memulai di acara
ini. Sedangkan lawannya sudah belajar dari sebelum ikut acara. Artinya Fatin
tidak hanya memulai mengolah vocal menjadi segar namun mengolah teknik menjadi
etnik yang kemudian dikenal sebagai ciri khas lain selain karakter suara.
Tampaknya Fatin sudah bekerja keras
untuk mencapai taraf itu, bahkan ribuan tenaga dalam diri remajanya sudah
dikerahkan untuk menaklukkan panggung hiburan tanah air. Terbukti, lagu-lagu
yang dinyanyikan Fatin yang menurut sebagian orang fals bahkan kembali booming dan disukai masyarakat Indonesia.
Alasannya bisa apa saja. Bisa jadi
sudah jenuh mendengar suara fals
milik penyanyi yang modalnya paha mulus, baju seksi, dan superketat. Alasan ini
cukup kuat mengingat pendengar tidak harus melihat aksi panggung penyanyi saja
namun mendengar suaranya. Jika suara yang selalu fals hanya mengandalkan lekukan tubuh saja tentu orang akan bosan. Saat
Fatin datang dengan aura yang berbeda, apapun tentangnya akan dibela. Toh,
penyanyi yang bermodal goyang tubuh dan badan seksi juga sangat fals, malah tidak bisa dibedakan mana
suara si penyanyi A dengan B. Sama saja. Kecuali melihat aksi panggung mereka.
Biar dikata fals di setiap lagu, Fatin punya ciri khas. Tak perlu melihat aksi
panggungnya; karena memang tidak akan bergoyang ala nama binatang, cukup
mendengar suaranya saja kita sudah tahu itu adalah dia! Si Fatin foya.
Salah
Lagu
Soal fals di setiap lagu bisa dialami oleh banyak penyanyi lain. Lain
halnya jika seorang juri yang selalu menyebut Fatin salah pilih lagu. Lagu
tidak sesuai dengan karakter Fatin. Lagu tidak cocok dengan suara Fatin. Lagu
tidak bagus dinyanyikan Fatin karena tidak bisa mengambil nada tinggi.
Apalagi ini? Nada tinggi? Memang
semua penyanyi harus mampu mencapai suara beberapa oktaf? Harus
melengking-lengking? Teriak-teriak? Sepertinya tidak semua penyanyi dunia
menyanyi dengan suara tinggi itu. Dan suara tinggi itu pula bisa dilatih,
seseorang yang ingin punya suara tinggi juga bisa melakukan itu. Coba saja
teriak dengan satu tarikan napas setiap pagi, lalu minum air putih, ulangi lagi
secara berkala pasti akan mencapai nada tinggi ini. Sebuah proses pembelajaran,
dan secara sederhana lakukanlah anjuran di atas pasti akan mampu bersaing
dengan penyanyi dengan nada tinggi.
Lagi-lagi, apa perlu semua penyanyi
harus mampu mengambil nada setinggi-tingginya? Lama-lama bisa meledak
pendengaran pendengar kalau demikian adanya. Dalam bermusik hal ini tentu
menjadi lumrah dan harus, tapi dalam memberikan sesuatu yang istimewa kepada
pendengar tidak mesti mampu bernada tinggi. Mampulah menghibur, bukan bisa
membuat orang terpana lalu dilupakan, tapi buat orang terperangah lalu diingat
sepanjang masa.
Lagu yang dipilih tidak salah.
Semua lagu bagus, paling tidak mampu menghibur pendengarnya. Lagu yang
dinyanyikan Fatin juga punya cita rasa tersendiri, interaksi yang dibangun
Fatin dengan lagu tersebut bisa menghadirkan suasana berbeda. Perbedaan yang
signifikan, Fatin tidak pernah menjadikan lagu tersebut sama seperti penyanyi
asli, tidak pula menyanyikan sebuah lagu harus lebih bagus dari penyanyi asli.
Fatin menyanyikan lagu dengan keluar dari bayang-bayang penyanyi asli. Dia tidak
gagal. Lagu-lagu yang telah dinyanyikannya menjadi laris manis di media. Dari
yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang dulu suka lagu itu bisa kembali
bernostalgia. Mengenang suatu masa saat lagu itu jaya tetapi dengan cara
berbeda, versi Fatin!.
Salah
Lagu, Lagi?
Tidak sekali dua kali seorang juri
itu mengkritik Fatin salah lagu. Hampir setiap penampilan Fatin disarankan
pilih lagu yang cocok. Bila diamati dengan baik-baik tidak semua lagu yang
dinyanyikan Fatin tidak enak didengar. Benar dengan kritikan juri itu, ada
sebagian lagu yang Fatin nyanyikan tidak sesuai dengan karakter vocalnya. Alias
salah lagu!
Kesalahan ini tak lantas jelek,
Fatin tetap menyanyi dengan versi dia tanpa harus bersaing menjadi lebih hebat
dari penyanyi aslinya. Salah satu komentator ajang ini memang seorang yang
sangat kompeten dalam menciptakan lagu-lagu romantis, kacamata dia dalam
menilai sangat tepat sasaran. Lagu-lagu yang diciptakanya pun meledak bagai
kembang api di pasaran, tidak hanya sekali, berkali-kali. Penilaiannya tentu
sangat bagus mengingat bakat Fatin yang masih terpendam, perlu digali lagi
menjadi sebuah hasil galian berharga mahal.
Salah lagu kemudian menjadi kata
pamungkas juri ini. Sampai-sampai di beberapa kesempatan para penggemar gadis
“malu-malu” ini memberi hujatan. Terlebih ketika lagu yang dikata salah
ternyata enak didengar. Si juri menilai dengan satu telinga, sedangkan penonton
menilai dengan jutaan telinga bahkan tidak hanya di Indonesia. Di sinilah letak
kekurangan saran dan kritik sang juri “rampok” dengan selalu
membangga-banggakan anak didiknya. Boleh saja demikian, anak didiknya tidak
memulai dari nol besar, semua teknik sudah dikuasai lantaran sering manggung
dan ikut lomba sana-sini. Si Fatin baru memulai, belum sesuai lagu wajar saja
karena lagu yang dia tahu hanya beberapa saja dan itu pun lagu-lagu roman
remaja era globalisasi. Tidak semua lagu yang mesti didengar lalu dibuatnya
enak.
Salah memang persepsi ini, ikut
lomba harus mampu menyanyikan lagu apa saja. Tepat sekali! Untuk kontestan lain
tidak jadi masalah, mereka sudah malang melintang di dunia tarik suara. Si
Fatin? Berangkat dari kamar mandi sebagai dapur rekaman diiringi gemercik air,
dipaksa belajar dalam waktu seminggu bukanlah hal yang wajar. Bagai shock therapy, mau tidak mau Fatin harus
bisa dalam seminggu. Menghafal lagu, belajar teknik, menghafal koreografi,
menyesuaikan nada, tempo, kesiapan mental menerima kritikan tidak hanya dari
juri tetapi dari penonton yang akan kecewa dengan penampilannya.
Salah lagu bisa saja alasan salah
satu juri, jangan lupa bahwa pendengar bukan hanya dia. Yang akan membeli lagu
Fatin bukan satu pendengar saja, melainkan banyak pendengar yang akan mengantre
untuk lagunya!
Salah
Kostum
Setiap penampilan seharusnya
menampilkan style berbeda. Harus
megah. Mewah. Fashionable. Pernak-pernik
dilengan dan leher. Semua harus diperhatikan. Selain suara.
Mengenai suara, Fatin sudah belajar
banyak dari kru dan Rossa. Untuk urusan penampilan luar, Fatin masih belum
terlihat elegan dengan pakaian yang dikenakannya. Beberapa penampilan Fatin
seakan hilang arah dengan gaya baju terlalu ketak dan jilbab mini. Ini menjadi
perdebatan panjang di dunia maya, Fatin diminta menjadi diri sendiri dengan
jilbab harus lebih panjang sampai ke dada dan pakaian juga tidak terlalu ketat.
Ternyata, orang yang sayang sama si
Foya ini semakin banyak. Pakaian
adalah kelengkapan dalam bertarung. Enak didengar juga harus enak dilihat. Kita
memang tidak tahu siapa penata busana untuk Fatin saat akan tampil. Tetapi
selintas terpampang nama designers di
layar kaca. Designers ini pula yang
“meminjamkan” pakaian untuk Fatin kenakan.
Juri juga sempat menyinggung soal
pakaian ini, sempat Fatin mengenakan pakaian yang terlalu “tua” untuk ukuran
gadis remaja sepertinya. Lain kali pernak-pernik jilbab sangatlah berlebihan
sampai-sampai seperti semak belukar. Hal ini tidak perlu. Fashion Fatin cukup biasa-biasa saja. Tanpa perlu terlihat seperti
emak-emak mau jual sahur.
Pemilihan warna juga menjadi salah
satu pertimbangan. Warna yang senada dengan aura remaja akan lebih mudah
diterima penglihatan penggemar dibandingkan dengan warna yang gelap. Warna-warna
cerah ala remaja dengan gaya tak berlebihan mau tidak mau akan diikuti oleh
remaja berjilbab yang semakin hari semakin banyak di Indonesia ini.
Penampilan yang sangat indah, saat
menyanyikan Perahu Kertas dari Maudy Ayunda. Gaya remaja masa kini yang patut
dicontoh oleh remaja-remaja kebanyakan. Tidak berlebihan. Jilbab tidak dibuat
bersemak. Sederhana tetapi menarik. Pakaian yang dikenakan juga tidak
menampakkan bias ketat. Sesuai dengan usia yang disandangnya. Seperti ini pula
yang semestinya dipertahankan Fatin sampai waktu-waktu ke depan. Karena
kecantikan dalam sudah terlihat dari aura dan kecantikan luar menjadi pelengkap
dalam merangkai kata-kata dalam lagu yang dinyanyikannya.
Kaku
di Panggung
Sebagai pemula, Fatin sangat berat
berdiri di depan juri dan banyak orang. Semua mata tertuju padanya. Tanpa
memedulikan Fatin berusia belia. Fatin harus menampilkan yang terbaik.
Anggun yang sudah sangat
profesional dan menelurkan beberapa album internasional memberi kritik pedas
akan hal ini. Sebuah renungan untuk Fatin. Sebuah pembelajaran menjadi yang
lebih baik ke depan. Berdiri di panggung besar bukan hanya menyanyikan lagu
sampai meneteskan airmata. Panggung sudah diciptakan semenarik mungkin, di mana
penonton berdiri di bawah dan teriak-teriak memanggil namanya.
Interaksi dengan penonton adalah
hal yang wajib dilakukan oleh penyanyi. Di awal Fatin belum melakukan ini. Jika
dilihat dari beberapa video kelihatan sekali Fatin masih tersendat-sendat
antara maju dan mundur, bagaimana gaya jalan di antara jutaan mata memandang,
mempertimbangkan tidak jatuh, tidak terseret gaun yang dikenakan, tidak
terpeleset sepatu hak tinggi yang baru dikenakan semejak ikut acara ini.
Semua bercampur jadi satu, hadirlah
kaku di panggung. Begini salah. Begitu salah. Ini benar. Itu tidak benar.
Jadilah Fatin tidak hanya memperhatikan lagu saja, setiap apa yang akan
dilakukan termasuk pakaiannya juga menjadi perhatian.
Pertarungan baru dimulai, kritikan
lebih banyak ditujukan kepadanya dibandingkan kontestan lain. Mental anak SMA
ini diuji dengan ujian tak hanya sekali. Sikap petarung membaja hanya untuk
menampilkan yang terbaik. Dari malu-malu dan lugu menjadi ragu-ragu sampai
akhirnya centil dan tersenyum renyah.
Perubahan ini, tak selamanya bisa
dialami oleh penyanyi yang sudah sering ikut lomba serupa. Hanya si Fatin yang
mengalami. Sekecil apapun itu tetaplah perubahan yang sepatutnya disyukuri.
Perubahan tak bisa dikatakan total pada saat yang singkat, perubahan yang benar
itu butuh proses untuk mencapai sebuah keberhasilan.
Wajarlah Fatin kaku, dialah pemula
dalam ajang ini. Biasanya hanya mengenakan pakaian seadanya, terlihat dari
beberapa foto yang beredar, seperti remaja kebanyakan, mengenakan jeans, kemeja lengan panjang atau kaos
oblong lengan panjang, dan berjilbab. Setelah lolos audisi dan mulai ikut alur
acara, Fatin harus terbiasa dengan busana yang gemerlap, jilbab yang bermacam
modis, serta menggantikan sepatu tanpa hak menjadi hak tinggi. Perjuangan yang
tak sedikit. Bukan hanya harus belajar teknik bernyanyi, cara berjalan, cara
menyeimbangkan badan saat mengenakan sepatu ber-hak juga menjadi pusat
perhatiannya.
Walau kemudian Anggun memberi usul,
Fatin harus mencoba sepatu dengan hak yang lebih lebar bukan runcing. Usul
Anggun membuat Fatin terlihat nyaman, sudah bisa berdansa ala penyanyi R&B.
Namun joget versi Fatin kemudian diolok-olok, saking tidak enak dilihat
mungkin. Mending Fatin nyanyi saja, diam ditempat.
Pandangan lain malah datang dari
Dani, dia membiarkan Fatin bergoyang sesuai koreografi yang sudah diajarkan.
Lama-lama dia akan terbiasa. Lucu, kata Dani tapi kelucuan itu menjadi ciri
khas. Argumen Dani tidak terbantahkan, sosok Fatin yang diam, bergoyang ikuti
irama walau tak sebagus para dancer
tetap sama enak dilihat.
Aura itu tak bisa dipelajari melalui
les sampai umur beruban. Aura seseorang adalah identitas dalam membedakannya
dengan orang lain. Si Fatin sudah punya, kaku di panggung pun menjadi ciri khas
yang akan dikenang. Lain kali, dia akan belajar melupakan kaku dan semakin
terlihat enjoy.
2 komentar
makasih bos infonya dan salam sukses
mantap gan infonya