Seorang perempuan seperti punya kekuatan
berlebih dalam melakukan berbagai kegiatan. Mulai dari pagi sampai malam hari
mereka tetap saja memanjakan suami dan anak. Kebutuhan suami tercukupi,
kebutuhan anak terpenuhi. Keluh kesah suami karena pelayanan dirinya yang tidak
memuaskan ditelan pahit tanpa protes. Protes anak atas hasil kerja yang sudah
dilakukannya dengan maksimal juga didiamkan saja.
Peran perempuan sangat besar. Perempuan adalah
ibu. Ibu adalah orang yang melahirkan anak-anak cerdas kepunyaan orang tua.
Ibu saya tak lebih dari kebanyakan ibu rumah
tangga kebanyakan. Kebiasaan yang dilakukan oleh seorang perempuan pelakon ibu
rumah tangga dijalaninya dengan penuh tanggung jawab. Setiap hari menyiapkan
kebutuhan kami tanpa pamrih dan tanpa rasa lelah.
Hari-hari biasa – mungkin – rasa lelah memang
tidak begitu terasa. Di hari selama bulan Ramadhan, rasa lelah itu saya lihat
begitu menggebu-gebu. Mulai dari pagi sampai malam ibu masih saja menyibukkan
diri dengan mengurus kebutuhan rumah tangga. Rumah kami tidak besar, tidak
perlu menyapu seluruh ruangan dan mengepel setiap hari karena rumah ini tidak
berkeramik. Perkarangan rumah juga tidak seluas hamparan sawah di depan rumah,
hanya sebidang tanah dengan pohon akasia merontokkan daun kering setiap hari. Kadang
ibu sapu kadang juga tidak.
Rutinitas di bulan puasa tak jauh beda dengan
bulan-bulan lain. Jadwal memulai kegiatan yang cenderung menjadi perbedaan bagi
ibu. Setiap hari – mulai malam pertama puasa – ibu bangun sangat pagi
menyiapkan sahur. Jika nasi tidak ada maka beliau akan menanak nasi, menggoreng
telur atau ikan, kemudian baru membangunkan kami yang masih terlelap. Di saat
kami sudah beranjak dari dapur dan menuju ke tempat tidur masing-masing, ibu
masih terdengar mendentingkan gesekan piring. Ibu masih menyisakan waktu untuk
mencuci piring dan gelas. Setelah itu ibu baru bisa tidur kembali tak lebih
dari setengah jam sebelum azan subuh berkumandang.
Seusai subuh, tergopoh ibu mengambil sapu dan
membersihkan halaman rumah kami. Waktu yang berjalan cepat mengantarkan ibu
mengikuti jejak langkah ayah ke kebun karet, hanya ini satu-satunya pekerjaan
orang kampung ini. Karet yang ditakik pun tak semahal yang dibayangkan. Ibu dan
ayah tetap menjalaninya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar dapur rumah
kami tetap mengepul. Harga jual murah dan harga beli kebutuhan rumah tangga
melangkah naik, terkadang kami menyalahkan pemerintah yang tak bisa
menyesuaikan kondisi masyarakat yang sudah melarat.
Matahari beranjak sepenggalah saat ibu dan ayah
pulang dari kebun karet. Biasanya ayah akan istirahat di saung belakang rumah,
ibu masih mempunyai pekerjaan lain. Baju-baju kotor kami menggunung tak tercuci
diambil paksa lalu dibawa ke sungai belakang rumah, tak jauh dari saung tempat
ayah beristirahat.
Cucian beres azan dhuhur berkumandang. Ibu
mandi lalu berwudhu. Istirahat setelah shalat dhuhur pun tak bisa berlama-lama,
pekerjaan lain menunggu. Ibu harus menyiapkan penganan berbuka untuk kami. Mulai
lagi kegiatan ibu di dapur dengan mengiris-ngiris sayur, memotong ikan, menanak
nasi, memasak ikan, menggoreng tempe, membuat kuah bening sayur, tak lupa
goreng pisang. Semua ibu lakoni sendiri, hanya ditemani rambut hitamnya yang
sudah beruban.
Azan magrib menggema, kami berlari ke meja
makan. Saatnya berbuka. Ibu menghela napas panjang. Menyiratkan perjalanan hari
ini sudah berakhir. Sejenak. Sebelum nantinya ibu kembali mencuci piring dan
shalat tarawih.
Entah dari mana datangnya kekuatan seorang ibu.
Ibu saya menjalani semuanya dengan sendiri. Saya juga merasa ibu-ibu di belahan
dunia lain juga merasakan hal yang sama. Bergelut dengan rutinitas melelahkan.
Mulai pagi sampai malam menjelang. Tak pernah mengeluh. Tak pernah meminta
berhenti. Padahal kita bisa membantu pekerjaan yang seharusnya tidak diwajibkan
pada pangkuannya semata. Kita, sebagai penonton, layakkah kita protes dengan
hasil kerja ibu?