Gerhana Sunat pada Paruh 98
Tuesday, February 9, 2016
Add Comment
Perih. Pedih. Ngilu. Butuh di kipas. Makan ini nggak boleh. Minum hanya boleh setengah gelas saja. Jika banyak minum katanya akan mengembung. Makan makanan yang salah akan terasa seperti digigit semut sampai waktu lama. Padahal, tak makan ini itu dan minum banyak pun rasanya sungguh menderita!
![]() |
Gerhana Bulan yang indah. |
Waktu
itu. Karena usia kecil selalu ketakutan tentang sesuatu. Takut ini. Takut itu. Apalagi
jika sering ditakuti maka semua akan ditakutkan walaupun belum tentu benar. Termasuk
sunat.
Telaah
hukum agama, sunat bagi laki-laki itu wajib. Jika telaah segi kesehatan baru
sekarang ini dianjurkan untuk sunat dengan alasan terhindar dari penyakit “kelamin”
yang berbahaya. Padahal jika menjaga kelamin dengan benar mana ada penyakit
datang-datang sendirian tanpa diundang. Eh, kok pada ngomongin penyakit
kelamin ya?
Saya
terlanjur lupa kapan waktu yang tepat itu. Ingatnya cuma kelas 1 SMP dan waktu
itu tahun 1998, lagi-lagi jika tidak salah. Saya menjalani prosesi sunat dengan
bangga sekali. Sebentar lagi saya akan menjelma menjadi anak muda sejati.
Ke mana-mana tak perlu lagi dikawani sama Ayah. Mau makan tak perlu lagi disuapi Ibu. Mau merokok pun sudah sah-sah saja – sayangnya saya bukan perokok. Saya akan terbebas dari genggaman orang tua yang terlanjur banyak mendikte kebutuhan hidup. Senang sih, tapi ada waktu saya ingin terbang jauh.
Ke mana-mana tak perlu lagi dikawani sama Ayah. Mau makan tak perlu lagi disuapi Ibu. Mau merokok pun sudah sah-sah saja – sayangnya saya bukan perokok. Saya akan terbebas dari genggaman orang tua yang terlanjur banyak mendikte kebutuhan hidup. Senang sih, tapi ada waktu saya ingin terbang jauh.
Saya
disunat dan merasakan apa yang telah saya tulis di awal artikel ini. Tak hanya
itu, di hari saya disunat, di saat saya merintih kehabisan obat bius, di saat
saya haus-sehausnya manusia, di saat saya tak bisa bergerak atau melangkah. Saya
hanya bisa tertidur dengan sarung diikat membentuk segitiga di bagian yang baru
disunat itu.
Ibu
yang sedang ngobrol-ngobrol sama tetangga yang menjenguk saya “sakit”
berujar.
“Kenapa
pula hari tambah gelap padahal masih siang?”
Langkah
kaki Ibu dan entah berapa orang tamu di ruang tamu itu bergegas ke luar rumah. Tak
lama setelah itu terdengar suara azan dari pesantren kampung kami. Orang-orang
berteriak di luar rumah.
“Lihat…, lihat…!!!”
“Lihat…, lihat…!!!”
Saya galau sejadinya. Perkakas saya sedang perih tak ada yang kipas. Di luar apakah telah kiamat atau bencana alam. Tetapi tak terdengar orang berlarian. Orang-orang hanya menyebut kalimat istigfar atau takbir.
Suara azan dikumandangkan untuk kedua kali. Ini tentu bukan pertanda baik. Ini hari yang menegangkan. Ini hari tak pernah baik untuk kehidupan saya berikutnya, jika benar ada sesuatu yang mengerikan di luar sana.
Saya
memanggil Ibu. Namun tak pernah terdengar sama sekali sahutan dari beliau. Apakah
Ibu telah meninggalkan saya? Ke mana orang-orang itu pergi? Apa yang mereka
lihat?
Saya
mengamati sarung berbentuk segitiga yang merana. Setelah itu baru saya sadari
hari semakin gelap. Ini belum waktunya untuk malam. Apakah mendung begitu
pekatnya? Apakah sebentar lagi akan turun hujan?
Saya
menghitung detak jantung. Tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tak ada tanda
pula gemuruh maupun petir bersahutan.
Suara
azan kedua selesai berkumandang. Orang-orang di luar terdengar tak panik
seperti saat mendapat bencana besar – tsunami akhir 2004 misalnya. Orang-orang di luar hanya
mengucapkan kalimat puji-pujian kepada Tuhan pencipta alam. Orang-orang di luar
mengatakan mereka sedang melihat sesuatu yang langka!
Apakah
makhluk luar angkasa telah mendarat ke bumi?
Pikiran
saya terlalu jauh memikirkan sesuatu di luar batas kewajaran. Mana mungkin ada
makhluk luar angkasa itu? Keyakinan yang saya pegang teguh dalam kitabnya
secara terang-terangan menyebutkan di dunia ini hanya ada tiga makhluk; manusia,
malaikat dan jin. Makhluk luar angkasa yang mendarat –
jika benar – mungkin saja robot dari negara adidaya!
“Matahari tertutup bulan, cantik sekali!” ujar Ibu tiba-tiba.
“Matahari tertutup bulan, cantik sekali!” ujar Ibu tiba-tiba.
Melayanglah bentuk makhluk luar angkasa yang sedang saya khayalkan.
“Gerhana, Bu?” tanya saya penasaran.
Ingin rasanya menyingkap sarung dan keluar dengan segera.
“Iya, matahari sebesar bola!” tambah Ibu saya penuh semangat.
Saya gigit bibir. Tak perih. Tak ngilu. Hanya sendu.
Saya tak bisa keluar rumah karena sedang dipasung sunat. Seumur hidup belum pernah saya melihat bagaimana gerhana itu. Saya tentu ingin mendefinisikan gerhana untuk waktu yang lama karena saya bisa menceritakan kepada anak-cucu. Gerhana yang saya tahu hanya nama, bukan rupa yang katanya menggoda.
Tak
lama kemudian, dari pengeras suara terdengar imam besar pemilik pesantren
kampung kami memimpin salat gerhana matahari. Ayat-ayat al-Quran yang dibacakan
dengan lafal fasih dan mendayu-dayu terdengar panjang sekali. Terkesan, imam
yang memimpin salat sengaja memilih ayat-ayat yang panjang karena gerhana
matahari masih terlihat jelas.
Semakin lama salat semakin cepat gerhana berkurang. Saya menikmati dan membayangkan semua kejadian hari itu dengan mata tertutup. Salat gerhana matahari usai dilaksanakan, doa-doa terdengar lebih panjang didengungkan. Belakangan saya mengetahui salat gerhana matahari itu dilaksanakan di lapangan pesantren yang tumbuh rumput hijau.
Salat gerhana matahari ini dilaksanakan dengan khusyu’ dan ramai jamaah laki-laki maupun perempuan. Mungkin hanya Ibu saya yang tak datang karena harus menjaga bujangnya yang menuju masa pubertas penuh godaan dan aduhai rasanya!
Semakin lama salat semakin cepat gerhana berkurang. Saya menikmati dan membayangkan semua kejadian hari itu dengan mata tertutup. Salat gerhana matahari usai dilaksanakan, doa-doa terdengar lebih panjang didengungkan. Belakangan saya mengetahui salat gerhana matahari itu dilaksanakan di lapangan pesantren yang tumbuh rumput hijau.
Salat gerhana matahari ini dilaksanakan dengan khusyu’ dan ramai jamaah laki-laki maupun perempuan. Mungkin hanya Ibu saya yang tak datang karena harus menjaga bujangnya yang menuju masa pubertas penuh godaan dan aduhai rasanya!
Ibu
menguncang tubuh saya yang hampir kaku. Katanya matahari telah ke bentuk
semula. Sayang sekali saya tak bisa menikmatinya. Kapan akan terulang kembali?
***
Cerita di blog ini hanya humor untuk sebuah kisah masa lalu. Bagaimana pendapat Anda? Pernahkah mengalami kisah yang tak terlupakan saat gerhana?
0 Response to "Gerhana Sunat pada Paruh 98"
Post a Comment