![]() |
Mie Aceh dipotret dengan ASUS ZenFone 3 - Photo by Bai Ruindra |
perasaan tentang aceh selalu diobati oleh rasa mie yang lezat…
Indah
Kumalasari, mahasiswi cantik lulusan tercepat Universitas Gajah Mada, mulai
bercerita tentang pria Aceh di tengah deburan ombak sungai Chao Phraya. Senyawa
dengan apa yang telah kurasa, detak jantung di pusat kota Bangkok terasa begitu
menggelora sampai ke ubun-ubun. Beauty Blogger ini mendayu-dayu dalam
kata tentang orang Aceh yang sudah lama dikenalnya. Deskripsi tentang sosok
Aceh yang ia kenal terhempas ke bodi lain saat bertemu denganku. Indah
terbelalak saat melihat fisik dan kelakukanku yang sering nyeleneh
daripada pria Aceh yang hampir tiap waktu ia temui di pelataran – dekat –
kampus UGM.
“Bang
Bai beda banget dengan abang penjual mie Aceh itu!” Indah menekankan
beberapa nada yang membawa aura terkuat tentang Aceh. Bumi di mana aku lahir
dan dibesarkan sampai menjadi elang dengan kepakan sayap patah ke awan
tertinggi, menurut definisiku sebagai seorang blogger pemula. Tentangku yang
berbeda dengan penjual mie Aceh di Yogyakarta seperti telah kupahami dengan
baik watak tokoh dalam bayangan Indah. Mie Aceh yang diseduhkan dengan bumbu
terenak itu telah terbayang pula dalam ingatanku. Bagaimana canda dan tawa
mahasiswa UGM yang duduk menanti sepiring mie Aceh. Bagaimana repotnya abang itu
melayani orang-orang Yogyakarta dan sekitarnya. Dan bagaimana rasa mie Aceh
yang disuguhkan oleh abang itu, ingin aku nikmati suatu saat nanti jika
bertandang ke kampus UGM.
“Kami
sering banget beli mie Aceh sama abang itu lho, Bang!” Indah tak
tentu bermain dengan elemen kata yang tampaknya begitu syahdu di antara senja yang
meliuk-liuk ke barat. “Tahu nggak, kami sampai hapal betul gaya abang itu saat bikin
mie. Enaknya lagi, kami bisa pesen mie Aceh dalam porsi lima ribu rupiah
saja!”
Debur
ombak yang dibuat oleh lalu lintas kapal-kapal penumpang di Chao Phraya membuat
kapal kami yang lebih kecil oleng ke kiri dan ke kanan. Namun, seperti tidak
ada yang menyadari hal ini sampai terjadi, hanya aku sendiri yang terhentak dan
menyadari bahwa Indah masih bersemanyam dengan kata-kata di belakangku.
“Emang,
orang Aceh itu jual mie semua ya, Bang?” aku hampir terkikik. “Kayaknya di
mana-mana orang Aceh jual mie deh,” Indah memberi pernyataan sendiri
terhadap pertanyaan yang belum sempat kujawab.
“Nggak
ada yang jadi blogger dong kalau cowok Aceh jual mie semua?” lepasku
sambil masam-masam, bergaya hebat bahwa profesi ini begitu menjanjikan walaupun
dalam hati kecil menyanjung tinggi perjuangan orang Aceh yang berkelana ke luar
daerah untuk kehidupan lebih baik.
Indah
ngakak dengan Annafi yang sesekali memetik senja dengan smartphone
di tangannya. Annafi, si tinggi dari Jakarta ini adalah teman baru kami dengan
kacamata tebal yang sesekali menimpali ingin mencicipi mie Aceh.
“Mie
Aceh itu ada di mana-mana, begitu pendapat yang benar, Indah!” tegasku. “Orang
Aceh yang berkelana ke negerimu, setidaknya sudah mengenalkan Aceh dengan
kuliner terbaik dari negeri kami!”
“Benar
deh, Bang. Kami sampai ketagihan makan mie Aceh lho…,” gelora
dari nada suara Indah begitu kuat. Tampak sekali bahwa dirinya mencicipi rasa
tentang Aceh dari sesendok mie yang kental bumbu itu.
“Karena
apa?” aku seolah bertanya kepada diri sendiri. “Mie Aceh itu berbeda, Indah,
mulai dari cara pembuatan, cara penyajian, sampai soal rasa!” lalu aku membandingkan
dengan mie instan yang sering kami jumpai. Mie instan hanya memerlukan seduhan
air panas, kemudian disantap untuk mengisi perut yang keruyukan. Mie Aceh yang
sejatinya diolah dari tepung terigu tidak bisa langsung dimakan. Mie yang belum
matang ini dimasak dengan bumbu khusus, ditambahi udang atau kepiting, lalu
disajikan dengan kuah pedas bahkan goreng basah sampai mie goreng (tanpa
kuah sedikitpun). Begitu disantap, lidah akan bergoyang dengan kekentalan bumbu
yang melekat pada batang-batang mie melengkung, membentuk jalan berliku menuju
ke Aceh itu sendiri.
Segenap
cerita dari Indah, tentang pria Aceh di dekat kampusnya, tentang mie Aceh yang
kerapkali dikecapinya. Begitulah tentang Aceh yang dimulai dari cita rasa yang
tiada tanding, tentang mie Aceh. Kuliner nusantara dari Aceh ini
sudah menjadi ikon terkuat untuk mengingat Aceh. Lihat mie Aceh bersebaran di
dekat kamu, maka kamu akan ingat Aceh yang penuh liku-liku asmara, mulai dari
konflik sampai tsunami di penghujung 2004. Begitulah kekuatan kuliner mie Aceh
yang belum bisa disandingkan dengan kekuatan mie lain di nusantara ini.
Dan,
inilah mie Aceh untuk Indah, karib jauh yang baru saja saya kenal dalam sebuah
perjalanan ke negeri gajah putih. Mie ini juga untuk kamu yang saat ini
terpikirkan tentang kuliner terenak di Serambi Mekkah. Mie ini untuk siapa saja
yang akan atau berencana ke Aceh dalam waktu dekat.
![]() |
Bumbu yang menyerap dalam mie, semakin lezat dengan kepiting - Photo by Bai Ruindra |
Mie
Aceh. Bicara tentang kuliner ini, cukup mewakili rasa untuk ke Aceh. Jika ada
pertanyaan yang ditujukan kepadamu dan harus dijawab dalam persekian detik, “Kuliner
apa yang terkenal dari Aceh?” jawabannya pasti “Mie Aceh!”
Histori
sebuah nama juga memengaruhi tentang apa dan bagaimana sebuah julukan itu ada. Begitu
lekatnya dengan Aceh, namanya tidak bisa diubah menjadi mie kepiting atau mie
udang. Bagiku, cerita Indah telah mencakup dari semua elemen untuk menjabarkan
kekuatan dan kekuasaan mie Aceh. Jika kamu ke Aceh, aku bisa mengajakmu ke
mana-mana dan melihat di setiap sudut orang menjual mie Aceh. Soal rasa, tentu
saja aku sudah terbiasa namun belum tentu untukmu yang ingin mencicipi mie Aceh
yang dibuat langsung di Aceh oleh orang Aceh sendiri. Mie yang dibuat oleh
orang Aceh mungkin saja telah kamu temui, sama halnya seperti Indah yang sampai
saat ini masih bertegur sapa dengan abang penjual mie Aceh dari Aceh asli.
Mie
Aceh telah menjadi rajanya kuliner dari Aceh. Saat kamu menemukan kuliner yang
sama di tempat berbeda, maka kuliner ini telah sangat populer dan dinikmati
oleh banyak orang. Kuliner dari Aceh tentu saja sangat banyak namun tidak
seperti mie Aceh yang menjadi bahan pembicaraan di setiap sudut. Populernya
ditandai dengan di mana-mana bisa kamu jumpai penjual mie Aceh!
Mie
Aceh pada perkembangannya tidak lagi sebuah suguhan yang begitu-begitu saja. Seiring
waktu, sama halnya dengan kehidupan yang terus dimodifikasi, mie Aceh juga
mengalami penambahan pada cita rasa dan cara penyajian. Mie Aceh dengan postur
mie saja sudah sangat biasa, harganya pun mulai Rp.7000 perporsi (satu piring
makan). Mie Aceh yang ditambahi udang, kerang sampai kepiting menjadi sebuah
sajian yang wajib kamu cicipi jika ke Aceh suatu saat nanti.
Bagaimana Menikmati Mie Aceh?
Tanpa
perlu malu, pegang saja cangkang kepiting sampai kamu benar-benar puas
menyantap bumbu yang menusuk sampai ke hidung. Mie Aceh dengan kepiting ini dihargai
Rp.30.000 perporsi. Mie Aceh dengan udang atau kerang antara Rp.10.000 sampai
Rp.20.000 perporsi. Aku rekomendasikan untuk kamu, sesekali ke Aceh jika waktu
benar ada, maka boyong saja kepiting sebesar genggaman di antara pelukan mie
yang melingkari seluruh tubuh berlemak tinggi ini. Rasanya tentu saja tidak
bisa aku jabarkan sampai panjang ke alinea terakhir kisah ini. Kamu dapat
memesan ke pembuat mie di warung itu dengan berbagai macam reguest
khusus. Kamu penyuka makanan pedas, cukup bilang “Bang, buat mie yang pedas
ya!”
Nikmatnya
mie Aceh berbaur dengan keinginan untuk bertandang ke Aceh. Ada rindu dari rasa
di dalam kuliner ini. Ada rasa angkuh yang melingkari kepemilikan Aceh di
dalamnya. Ada cita rasa yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri. Ada kekuatan
untuk merengkuh dunia sampai mengenalkan daerah asal yang memeluk waktu agar
tidak melupakan Aceh. Saat nikmat, tentu kamu harus mengabadikan momentum ini
dengan bijaksana. Aku mengunggulkan ASUS ZenFone 3 untuk memotret
kuliner terbaik dari negeri kami ini.
ZenFone 3 yang Mencintai Seni Fotografi
Tagline yang dimiliki
oleh ZenFone 3 adalah built for photography telah menjawab cita rasa
dalam memotret. Aku belum mahir dalam mengabadikan momentum namun ZenFone 3
cukup baik mengajariku tentang hal ini. Seni fotografi seakan-akan telah ada di
dalam dirinya sampai aku menjadi manja. Aku menyukai sudut pandang yang dekat
dan detail, kamera 16 magapixel ZenFone 3 dapat menjawab melalui autofocus
terbaik. Hasil gambar di atas bisa menjawab tentang ini, bukan?
ZenFone
3 cukup baik dalam menangkap objek dalam jarak dekat. Sebuah cita rasa dari
makanan adalah saat dicium dan dirasa, tetapi sebuah gambar bisa mewakili akan
rasa itu. Detail gambar dari kamera yang memiliki beragam fitur seperti HDR,
Manual, Panorama, HDR Pro, Resolusi Super, dan lain-lain, sangat baik dalam
menangkap gambar. Kamera ZenFone 3 juga telah dilengkapi dengan Pixel Master
Camera yang mampu menangkap objek dengan baik dalam segala kondisi. Satu
hal yang menarik, seri smartphone ini dapat mengangkap hasil foto lebih
baik bahkan dalam kondisi benda bergerak.
![]() |
ASUS ZenFone 3 yang menggoda. |
Aku
yakin, autofocus dari ZenFone 3 dapat mengambil sisi-sisi menarik dari
sebuah makanan. Kamera smartphone ini bisa menjawab tantangan yang
selama ini membuat aku galau. Mie Aceh yang semula biasa-biasa saja untukku,
saking seringnya disantap, terasa lebih istimewa dalam dekapan lensa kamera
ponsel pintar unggulan ASUS ini. Detail yang cukup baik terekam dari
bumbu-bumbu mie Aceh ini bahkan dari kepiting yang rasanya telah berbaur dengan
bumbu tersebut.
Kegalauanku
selama ini tentang trik dan tips fotografi sebenarnya telah terjawab. Aku yang
terlanjur malu untuk belajar sama orang lain, bahkan bingung mau belajar sama
siapa, bisa memulai dengan sudut autofocus dari ZenFone 3. Mode Manual
menjadi sebuah mode pilihan untuk menampilkan sudut-sudut terindah dari objek
jarak dekat, termasuk makanan.
Bagaimana agar Makanan Tampil Unik dalam Foto?
![]() |
Cara mengambil gambar dari insting dan sudut pandang, foto ini diambil menggunakan ASUS ZenFone 3 Max. |
Dekatkan
saja lensa ZenFone 3 ke objek maka dengan seketika ia akan mengunci objek
tersebut dalam kepastian autofocus. Aku tidak bisa membagikan tips
khusus untuk mengambil gambar terbaik. Pelajaran terpenting adalah dari
pengalaman membidik objek dengan rasa atau bahkan insting semata. Bagaimana pewajahan
terbaik dari sebuah objek ke dalam foto?
Aku perlu peka terhadap objek. Suguhan makanan terenak tidak akan menjadi ‘enak’ dalam foto jika aku
tidak memiliki sudut pandang (angle) terbaik. Sudut pandang ini adalah
soal rasa yang akan menggerakkan lensa kemera. Kamu dapat memulai hal ini
dengan konsentrasi atau insting yang muncul tiba-tiba.
Aku perlu dekatkan lensa ke objek. Fokus objek seperti makanan tentu berbeda dengan panorama. Saat aku
memotret panorama, selain soal rasa dan sudut pandang adalah tangan tidak
gemetar saat menekan klik. Namun saat memotret makanan, langkah pertama
adalah mendekatkan lensa ke objek agar dapat menangkap detail dengan baik. Lensa
kamera terbaik akan menangkap setiap sisi objek tanpa harus diedit setelah jadi
foto.
Aku perlu memotret sesering mungkin. Pengalaman lebih berharga daripada pembelajaran. Proses belajar yang
panjang saja tidak cukup tanpa disertai praktik yang nyata. Aku mempraktikkan
sisi-sisi dari keingintahuan karena kamera ponsel sangat mendukung. Bagian ini
yang dapat diperlukan agar dapat menangkap objek dengan sangat baik dalam satu
waktu dan secara kontinu. Salah satu objek yang simpel dan mudah ditemukan
adalah makanan. Toh, sehari tiga kali adalah proses yang baik untuk
menggerakkan hati dan tangan agar langsung klik terhadap objek.
![]() |
Mie Aceh disanding dengan ASUS ZenFone 3 Max, sama-sama #GaAdaMatinya dari sudut pandang berbeda. |
Siapkah
kamu berkelana dengan kamera di tangan? Aku tunggu potret mie Aceh dari kamu!
Duh merahnya, cabenyaaa, menggodaaa, lafeeerrrr
ReplyDeleteSangat menggoda mbak, selamat menikmati ya :)
DeleteSuatu hari perlu icip sendiri mie aceh di tempatnya langsung...
ReplyDeleteLalu aku mupeng zen3maxnya hiks
Ayo Koh, ditunggu di Aceh ya :)
Deletesegerrrrr....
ReplyDeletePengen nyoba langsung dari asalnya!!!
Ayo Fred ke Aceh :)
DeleteSekarang jam 9.. Dan aku baca postingan ini.. Weeh... Bikin laper bang!! Good luck ya bang bai!
ReplyDeleteSuika-lovers.com
Luar biasa menggoda ya Annafi, ayo cari mie Aceh terdekat di JKT :)
DeleteWah selalu penasaran dengan mi Aceh
ReplyDeleteJangan lama-lama penasarannya Amir :)
Deletejadi penasaran sama Mie Aceh, soalnya aku malah belum pernah mencicipinya :)
ReplyDeleteAyo mbak Witri, kayaknya hampir semua tempat ada yang jual mie Aceh :)
DeletePertama kali nyobain mi aceh malah di tanah ranta, Jakarta. Padahal dari dulu di kota sendiri selalu melewati kedai mi aceh ketika berangkat ke kampus. Menurut saya mi aceh memiliki rasa yang khas, dan tidak semua orang bisa merasakan cita rasa yang khas tersebut. ada yang sukanya pakai kuah, ada yang malah doyan mi aceh goreng saja tanpa kuah. Saya cenderung penikmat yang berkuah, karena aroma rempah yang dihasilkan tidak terlalu pekat dan menusuk di hidung.
ReplyDeleteWah, mie Aceh memang selalu punya ciri khas mas Okky, saya lebih suka yang kuah tetapi kalau dengan kepiting lebih enak yang goreng basah :)
Deletewah ams apa aku orang iawa ya, kalau maakn mie aceh terasa abnget rempah2nya yang aneh bagi lidah jawaku. Kebetulan di cirebon sudah ada yang jual
ReplyDeleteBumbunya yang kental ya mbak jadinya terasa banget :)
DeleteSampai sekarang masih penasaran dengan mie ace yang pakai kepiting. Kayanknya enak banget. Makasi ya mas udah share
ReplyDeleteAyo mbak Sri, pakai kepiting tampak sedap ini :)
DeleteDuh, jadi ngiler bang Bai.... Hmmmm
ReplyDeleteSilakan dicicipi, Kang :)
Deletehaduuuuh discroll makin ke bawah makin pengeeeeen
ReplyDeleteapalagi mie aceh katanya beda ya rasanya, pengen nyobak >.<
bikinin dong >.<
Ayo mbak Ocha, dicoba yang di sini saja dulu hehehe
Deletejadi laper
ReplyDeleteAyo dicicipi :)
Deletewahhh mie aceh ya, jadi kepengen makan mie di siang bolong gini hahaha. tapi enakan makan malem ya kalo mie hahaha
ReplyDeleteAyo dicoba, siang juga enak kok :)
DeleteMemang enak semua mie aceh ,ada yang kuah dan ada pula yang kering ...mantap
ReplyDeleteEnak banget, mi Aceh memang punya ciri khas yang tidk mudah dilupakan :)
Delete