Segelas Pesan – Bagian 5
Thursday, October 3, 2019
Add Comment
Gelap menjemput kedatangan kami. Aku tidak
bisa membayangkan akan berada ditengah-tengah pemukiman terisolir. Inikah yang
dinamakan transmigrasi?
![]() |
Ilustrasi cerita. |
Aku berada jauh dari kota besar, dan sekarang akan
tinggal di kampung yang entah bisa memuaskan kebutuhan batinku. Kampung ini tak
pernah terkhayal dalam angan-anganku.
Kampung ini akan terasa gelap tak hanya
di malam hari tetapi juga di siang hari, bagiku.
Kami menempati rumah petak yang tak bisa
kubilang bagus. Dua kamar, dapur ukuran sangat kecil dan satu ruang tamu
merangkap tempat praktik Teh Ratna sebagai bidan.
Kamar mandi? Mengingat ini
aku sangat ngeri, malam-malam buta jika ingin pipis aku harus menguatkan diri
keluar rumah, ke gubuk kecil bersumur dalam, di situlah kamar mandi kami selama
di sini!
Bahkan menimba air saja
aku masih harus banyak belajar, berulang kali kutimpa, berkali-kali pula air
tumpa ruah kembali ke dalam sumur.
Tak jarang aku membanting timpa lantaran
muak dengan gerakanku yang tak bisa-bisa menarik setimpa air ke mulut sumur dan
bisa kutuangkan mengaliri badanku. Padahal badanku sudah sangat gerah ingin
segera didinginkan!.
Kuperhatikan sekeliling. Sejak sampai di
kampung berhimpitan hutan aku belum melihat seorang pun selain Wahid.
Mungkin mereka sudah terlelap di rumah masing-masing, malam di tengah
hutan belantara seperti ini bisa terasa sangat asing jika masih berkeliaran di
tengah kampung. Mungkin saja mereka masih bekerja, mungkin juga melakukan hal
lain.
Kampung Pedalaman. Itulah kampung yang
kujejaki langkah lunglai. Sebuah kampung yang tidak terdapat dalam petaku,
mungkin dalam peta Indonesia juga berupa pepohonan semata.
Kampung yang berjarak
ratusan kilometer dari kota Calang, masuk ke dalam hutan belantara. Kampung
yang jauh dari hiruk pikuk pemukiman penduduk padat.
Kampung yang khusus
dibangun untuk pemukiman pendatang. Kampung tempat semua orang sibuk berkebun.
Kampung yang dikelilingi pohon-pohon tinggi mencakar
awan berwarna putih dan biru saling berkejaran. Kampung yang gelap gulita di
malam hari, hanya lampu teplok saja menerangi setiap rumah sampai pukul
sembilan malam.
Kampung yang begitu sunyi, sesekali suara binatang melata
merayap ke telingaku. Bulu kudukku berdiri.
Entah perasaan apa yang menghinggapi
perasaanku, rasanya ingin cepat melupakan babak demi babak pembuka memori
baruku.
Besok bisa terjadi apa saja. Badanku terasa
sangat berat. Aku butuh tidur, di kasur empuk. Aku mendengus, kasur ini hanya tikar berwarna kecoklatan hampir berlumut!
***
Teh Ratna punya pekerjaan sendiri, sebagai
bidan di Kampung Pedalaman tentu hari-hari dilalui tak tersisa buat diri
sendiri.
Aku yang tidak terbiasa termenung, ikut bantu-bantu seadanya. Lepas
dari tanggung jawab yang tidak seberapa, aku banyak menghabiskan waktu menemani
Wahid di kebunnya.
Baru kali ini aku kagum dengan pekerja kasar.
Biasanya, aku malah mengabaikan keberadaan pekerja yang tak jelas masa depan di mataku.
Kenal Wahid,
aku banyak mengenal lika-liku pekerjaan yang sangat menguras tenaga dan
pikiran. Tenaga habis dituangkan selama berkebun sepanjang hari, mereka menanam
palawija di kebun-kebun mereka.
Pikiran mereka terkuras untuk memikirkan
bagaimana asap bisa terus mengepul di dapur dengan penghasilan pas-pasan. Hasil
palawija yang mereka tanam diharga dengan harga sangat murah.
Jika mau harga
mahal, mereka harus menjual sendiri ke pasar. Artinya, mereka harus menggotong
sendiri hasil palawija melewati jalanan setapak hutan belantara menuju pasar,
ke Calang atau ke Lamno[1] bahkan ke Banda
Aceh.
Wahid bukan tipikal orang yang diam saja
diperlakukan seenaknya oleh tauke. Tauke datang saat musim
panen tiba dengan menawarkan harga termurah, pekebun yang tidak mampu menggerek
hasil panen mereka ke pasar lapang dada menerima harga taraf tauke.
Untung rugi tak
dipersoalkan lagi, karena mereka sudah terbiasa demikian dan tauke pun sudah
terbiasa memperlakukan pekebun demikian.
Menjual hasil panen ke pasar sama
dengan menguras ribuan volt tenaga sampai bisa kembali ke Kampung Pedalaman,
tenaga itu pekebun simpan untuk kembali bercocok tanam lalu memulai berkebun
setelah mengistirahatkan tanah garapan sebulan lamanya.
Tanah garapan siap di
tanam mereka pun kembali menuai palawija.
Belakangan, Wahid memasarkan sendiri hasil
kebunnya ke pasar Calang. Hasilnya, Wahid bisa membangun rumah sederhana di
perkampungan Kampung Pedalaman ini.
“Saya masih lajang kak, masih kuat bekerja dan
mengangkat banyak hasil kebun ke pasar!” ujar Wahid. Sudah berulang kali aku
katakan panggil nama saja, berulang kali pula Wahid lupa.
Padahal, umurku
terpaut empat tahun darinya. Dia benar-benar sopan dalam bertutur kata dan
bersikap. Pria ini patut masuk dalam kategori calon suami idaman di
perkampungan pelosok ini.
Wajah boleh saja tidak seganteng teman-temanku di Bandung,
tidak seganteng Tegar, bahasa tubuhnya jauh lebih ganteng dari bentuk wajahnya.
Ada-ada saja. Aku malah jadi membandingkan pria
kampung dengan pria kota besar yang semua kebutuhan tercukupi. Tidak musti
kerja keras banting tulang membentuk otot.
Tegar, tubuh atletisnya terbentuk
hasil olahraga dan makanan sehat yang selalu dikonsumsi. Wahid, tubuh
berototnya terbentuk dengan sendiri tanpa olahraga dan makanan seadanya.
Bila
kubandingkan, lebar bahu Wahid malah lebih bidang dibandingkan Tegar yang
mengerucut.
Entahlah. Aku merasa semakin lama di sini
semakin lambat saja waktu berjalan. Di Bandung, aku merasa waktu sangat cepat
berlari. Saling kerja masalah.
Saling membuat pikiranku amburadul. Saling
membuat napasku seakan berhenti. Saling menyakitkan hatiku. Di Kampung Pedalaman
aku menemukan waktu yang sangat lama.
“Kakak suka berkebun juga?” tanya Wahid. Aku
mengeleng.
Wahid mengangguk. Tak bertanya lagi, dia
kembali pada pekerjaannya. Merawat batang kacang yang semakin mekar daunnya,
tak lama lagi dia akan panen besar.
“Kapan kacang ini dipanen, Wahid?” tanyaku
antusias, kali saja aku bisa membantunya jika saatnya tiba.
“Sekitar seminggu lagi,”
“Ohya? Saya boleh bantu panen?”
“Boleh saja. Lalu, bagaimana pekerjaannya di rumah sakit?”
Aku terkikik. Orang kampung menamakan tempat
tinggalku dan Teh Ratna rumah sakit. Rumah kecil itu tak layak disebut rumah
sakit, hanya sebuah rumah kecil tanpa peralatan medis memadai. Obat-obatan pun
terbilang cukup untuk antiseptik dan antibiotik.
“Tenang saja, saya bisa minta izin tidak masuk
kok!”
Wahid tersenyum. Kecil saja. Lagi-lagi aku
terpesona dengan sikapnya yang bisa buatku nyaman.
***
Tengah malam, suara
ketukan menggema keras berulang kali. Aku yang baru saja terlelap karena
memikirkan masa depan yang tak akan terurus indah selama di sini jadi terjaga.
Kupalingkan
wajah ke samping, Teh Ratna sudah beranjak menuju pintu. Tak lama percakapan
kudengar cepat-cepat, diburu nafas tersengat habis berlari.
Tergopoh Teh Ratna
menarik tas berisi obat-obatan dan peralatan medis miliknya. Suaranya parau
memanggil-manggil namaku. Aku yang sudah terjaga sejak suara pintu diketuk ikut
berlari ke sana-ke mari.
Kuraih baju kaos lengan panjang dalam gelap, celana training
kukenakan buru-buru. Aku masih belum membaca ke mana langkah kami akan termakan
malam yang semakin dingin.
Kuikuti langkah kaki
Teh Ratna yang semakin cepat mengikuti langkah pria muda di depan kami. Aku tak
banyak tanya, Teh Ratna pun tak menjelasan apa-apa, dari raut mukanya pias
memikirkan sesuatu dengan keras. Aku mencari-cari pokok masalah yang akan kami
hadapi beberapa menit ke depan.
Langkahku semakin
cepat, mengejar langkah Teh Ratna dan pria muda di depanku yang melilit sarung
dilehernya.
Aku belum pernah melihat pria ini sebelumnya, mungkin juga pernah
kulihat tapi aku sudah lupa karena bayangku hanya pada Wahid.
Bulu kudukku berdiri
setegak-tegaknya. Mataku memantau sekeliling dengan penuh kecemasan. Beberapa
obor menyala redup di depan rumah penduduk yang sunyi.
Dari dalam rumah hanya
terlihat gelap, pertanda pendudukan Kampung Pedalaman sudah terlelap. Semilir
angin hutan menusuk tajam ke pori-poriku, rasanya seperti ditelanjangi.
Hutan itu membuatku
tak berdaya, pohon-pohon menjulang tinggi dalam gelap, daun-daun bergesekan
disentuh angin malam, goyangannya sesekali membuat detak jantungku berpacu
sangat kencang.
Entah apa yang terbayang dalam benakku melihat pohon-pohon
dengan daun bergesekan di tengah malam buta begini. Nyaliku kembali terkejut
saat sedaun pohon melayang dari udara.
Aku merapat ke lengan Teh Ratna, dalam
gelap kutatap matanya yang juga mengisyaratkan hal yang sama seperti yang aku
rasakan.
Pria di depan kami
melangkah tak karuan, seakan waktu yang dia butuhkan akan segera habis dan
diganti dengan waktu lain.
Derap langkahnya memasuki sebuah rumah, aku bahkan
tidak ingat letak rumah ini karena pikiranku masih memikirkan hal-hal lebih
menusuk jantungku selama perjalanan ke mari. Pria itu mendorong pintu kayu
rumahnya, dari dalam terlihat lampu teplok menyala redup.
Di sampingnya,
seorang wanita muda terbaring lemah tak berdaya. Aku baru mengerti ke mana
angin membawa nyaliku berterbangan menjelang dini hari ini.
Wanita itu sendiri
menarik nafas satu-satu. Teh Ratna berlari kecil menuju pembaringan wanita itu.
“Kapan ketupannya
pecah, bang?” tanya Teh Ratna pelan-pelan.
“Sore tadi kak,” jawabnya
bergetar. Teh Ratna memeriksa denyut nadi wanita di depannya.
“Tolong ambilkan air,”
perintah Teh Ratna. Pria itu bergegas ke belakang, lalu kembali dengan seember
air. Teh Ratna mencuci tangannya dan memintaku melakukan hal yang sama.
Aku
duduk di dekat kepala wanita itu, membantunya menarik nafas pelan-pelan. Teh
Ratna berjuang seorang diri tanpa peralatan medis memadai.
Kutahu, ini sangat
berat karena persalinan di tengah malam dan baru pertama bagi Teh Ratna di
Kampung Pedalaman.
Wajah Teh Ratna pias. Jika
ada jam di tanganku, mungkin waktu sudah berlalu lebih dari satu jam. Aku tahu,
persalinan ini sangat berat baginya.
Wanita di dalam dekapanku pun sudah lemas.
Nafasnya sudah putus-putus. Kulihat wajah pria di sampingku berubah gusar, mungkin
ini anak pertamanya.
Teh Ratna tak
menyerah, dia terus mengompori wanita itu untuk terus menarik kekuatannya. Melepas
semua beban pikiran dan melupakan rasa sakit yang tiada tara. Usaha Teh Ratna
bisa salah, tetapi hanya ini satu-satunya jalan untuk membantu wanita ini.
Dengan
kondisi yang sudah sangat lemah, wanita ini butuh rumah sakit besar dengan
peralatan medis lengkap. Mencapai rumah sakit di Calang membutuhkan waktu tiga
setengah jam jalan kaki.
Keringat Teh Ratna tak
ubahnya seperti keringat wanita yang akan melahirkan ini. Teh Ratna tak
menampakkan keputusasaan, usahanya membantu ibu hamil ini benar-benar nyata.
Berbagai cara dilakukannya untuk wanita ini.
Saat angin menyeruak
kencang, lampu teplok mendadak mati, kami panik, terdengar suara tangisan kecil
begitu keras.
Aku mengucapkan syukur, Teh Ratna pun terdengar melafalkan hal
yang sama. Pria yang tadi mencari-cari korek api, begitu mendengar bayinya
sudah lahir lampu pun dinyalakan tergesa.
Bayi ini laki-laki, anak
pertama Anto dan Minah, suami istri muda yang belum genap setahun merantau ke
Kampung Pedalaman.
***
[1]Berada di kaki
Gunung Geurute, Aceh Jaya, terkenal
dengan masyarakat bermata biru.
0 Response to "Segelas Pesan – Bagian 5 "
Post a Comment