Segelas Pesan – Bagian 6
Thursday, October 10, 2019
Add Comment
Petaka itu bermula saat Teh Ratna melarangku ikut panen kacang
bersama Wahid. Entah apa yang terbersit dalam pikiran Teh Ratna sampai-sampai
bersikeras bahwa penduduk pribumi tidak baik kelakuannya.
“Bagaimana Teteh bisa berpikiran sepicik itu?”
“Bagaimana? Kamu tidak lihat, di sini hanya
beberapa penduduk pribumi, lainnya hanya pendatang dari Jawa yang
pontang-panting membuka lahan.
Kamu tidak dengar ada penduduk pribumi yang
mengambil paksa lahan dari pendatang karena mereka Jawa!”
“Itu baru asumsi Teteh saja kan? Kita belum punya bukti mereka melakukan itu!”
“Tidak ada bukti katamu? Lihatlah, dari daftar
penduduk yang ada di buku besar ini hanya sepuluh keluarga dari penduduk
pribumi, selebihnya dari Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah…” Teh Ratna
membuka buku pemberian lurah di depan mataku. Aku akui memang sebagian besar
penduduk adalah transmigrasi.
“Sekarang mereka sepuluh keluarga, besok akan
bertambah, lusa bertambah, terus bertambah sampai mereka menguasai lahan perkebunan
yang sudah digarap oleh orang-orang Jawa mulai dari nol. Orang-orang Jawa
bilang sendiri mereka ditindas selama berada di Kampung Pedalaman!”
“Teteh keberatan? Mungkin hanya sebagian dari
mereka yang bilang begitu, yang lain malah sibuk berkebun.”
“Iya, orang kita sudah lelah membuka lahan,
penduduk pribumi seenaknya mengambil lahan untuk mereka bercocok tanam.
Sekarang
sebagian mereka mengeluh, besok sebagian lagi, lusa setengah lagi dan
seterusnya. Siapa yang tidak keberatan?”
“Saya tidak, ini tanah mereka! Jika kita orang
Jawa tidak suka pulang saja ke Jawa!” aku sedikit menaikkan suara. Aku masih
menganggap penduduk pribumi punya kuasa atas tanah kelahiran mereka, orang Jawa
hanya pendatang sepatutnya menerima keberadaan dan keputusan penduduk pribumi walau
tidak adil.
“Mereka harus buka lahan sendiri kalau begitu!
Masuk ke hutan belantara ini, tebang pohon, bakar hutan, cangkul tanah, baru
bisa mereka ambil alih!” Teh Ratna juga ikut terbawa emosi.
“Lantas, apa hubungannya dengan Wahid? Dia
tidak seperti itu, saya mengenal dia,”
Teh Ratna diam sejenak. Mungkin mencari alasan
yang tepat atas argumennya menyalahkan Wahid di awal pembicaraan kami hingga
larut malam begini.
Sudah lebih lima menit aku menunggu, Teh Ratna belum
menemukan alasan yang bisa menguatkan pendapatnya. Alasan itu muncul saat jam
sudah berdentang dua belas kali.
“Kamu baru mengenal Wahid belum lama ini, sebagai
pendatang kita wajib waspada. Wahid kerja sendiri, siapa tahu dia menjadikanmu
buruh tanpa dibayar, panennya usai dan hubungan kalian pun usai!”
“Hubungan? Maksud Teteh saya dengan Wahid
sudah menjalin hubungan dekat? Wahid bukan panen sekali lalu dia akan
meninggalkan perkebunan ini, dia akan bercocok tanam lagi saat hasil panennya
terjual. Dia bahkan menjual sendiri hasil panennya ke Calang, rasanya wajar
jika saya membantu dia tanpa imbalan apa-apa. Saya juga butuh rutinitas, lelah rasanya berdiam diri di
rumah terus!”
“Katamu di rumah ini tidak ada rutinitas? Saya
juga perlu teman bekerja, bukan hanya Wahid! Berapa dia gaji kamu? Saya pun
akan mengajimu!”
Suasana semakin panas. Aku sudah tidak enak
terhadap Teh Ratna. Matanya tajam menatapku, seakan ingin menerkam.
Melahap
tubuhku hidup-hidup. Selama ini, belum pernah aku melihat kemarahan dari Teh Ratna.
“Lagi pula, kamu sudah
bosan mungkin membantu orang melahirkan anak! Apalagi sampai kerja tengah malam
seperti di rumah Anto dan Minah!”
Aku terkejut mendengar
perkataan terakhir, keikhlasan membantu malam itu seakan luntur jika aku
memulai dekat dan tak akan ada habisnya bahkan sampai pagi.
“Besok saya akan membatalkan perjanjian dengan
Wahid!” tegasku sambil berlalu ke kamar. Tidur mungkin bisa menenangkan urat
saraf setelah bertengkar tak jelas dengan Teh Ratna.
Aku menerawang jauh. Bisa
saja Teh Ratna merasa tersingkir setelah kami mengenal Wahid, aku jadi lebih dekat
dengan Wahid karena waktuku lebih luang sedangkan Teh Ratna sendirian di rumah menjamu para
pasien.
Kesalnya padaku cukup beralasan, dia yang mengajakku jauh-jauh ke mari,
Wahid hanya menunggu kami di Kampung Pedalaman.
Apa yang terjadi besok, biar saja. Aku
berharap tidak jadi penonton di tengah kesibukan pekerja kebun di sini.
***
Pagi-pagi sekali aku mendengar suara tawa di
ruang tamu. Mana mungkin ada pasien datang berobat pada jam segini. Kulekatkan
kuping di balik pintu, suara Teh Ratna tidak seperti biasanya. Lebih ceria dan
sesekali tertawa terbahak. Lawan bicaranya pun tak kalah ikut tertawa. Aku
mencerna, mencari-cari di dasar memoriku suara yang kini kerap kudengar. Itu
Wahid!
Sedikit kukuak pintu, dari balik gorden putih
berbunga mawar terukir merah dapat kulihat mereka berdua. Wahid duduk di kursi
pasien, Teh Ratna duduk di kursinya sendiri. Di depan mereka terhidang dua
gelas teh panas. Asap mengepul dari atas gelas.
Wajah Teh Ratna berseri-seri. Seperti sudah
lama tidak bertemu dengan orang yang sangat ingin ditemui. Raut mukanya
bahagia. Gerak-gerik tubuhnya condong ke depan, menarik perhatian Wahid yang sesekali
celingak-celinguk mencari ssuatu.
Kuperhatikan kembali. Kali saja Wahid sakit.
Dari gaya duduk sampai wajahnya. Tidak ada kesan dia dalam keadaan kurang
sehat. Dia baik-baik saja.
“Melati ke mana kak? Dari tadi belum tampak,” tanya
Wahid. Akhirnya, pertanyaan yang sangat kutunggu keluar juga dari mulut pria
itu. Aku sudah menduga, dia datang bukan menemui Teh Ratna tetapi menagih
janjiku padanya.
“Dia lagi kurang enak badan, katanya tidak
bisa menemani kamu ke kebun. Saya juga melarang, tidak ikut memanen saja dia
sudah sakit apalagi kalau sampai ikut ke sana!”
Tanganku hampir tergerak mendorong pintu agar
terbuka lebar. Kuurungkan niatku, pintu terbuka sama saja dengan melukai hati
Teh Ratna. Dalam hati aku memberontak, tidak bisa menerima alasan Teh Ratna.
Wahid mengangguk. Menyeruput teh panas. Lalu
bangkit. Pamit.
***
Sudah sebulan aku tidak bertemu Wahid. Teh
Ratna juga tidak memberi celah aku bisa bertemu Wahid. Sesekali kulihat Teh
Ratna keluar rumah di pagi dan sore menjelang magrib. Aku merasa ada yang tidak
beres dengan sikapnya dalam sebulan.
Hari ini dia juga keluar rumah, di luar rintik
hujan tidak mengurungkan niatnya. Aku menarik payung di dekat jendela, mengikuti langkah Teh Ratna.
Belok kanan, belok kanan lagi, lurus, kakiku kaku, terdiam di tempatku berdiri.
Di depanku pintu rumah Wahid terbuka lebar, Teh Ratna langsung masuk tanpa
mengetuk pintu. Tak lama pintu itu tertutup, sekilas kulihat wajah Wahid keluar
memantau sekitar.
Aku pulang. Dilema. Dadaku terbakar cemburu.
***
Kupaksa
langkah ke kebun Wahid, aku yakin dia ada di sana. Aku harus mendapatkan jawaban dari
permasalahan yang membuatku berburuk sangka.
Wahid sumringah menyambut kedatanganku. Sikapnya
tak ubah dari waktu ke waktu. Dia bahkan tidak menyinggung hubungannya dengan
Teh Ratna.
Dia bercerita hasil panennya yang meningkat, selain menambah isi
rumah dia bisa mengirim ke orang tua dan sisanya disimpan untuk kebutuhan
sehari-hari.
“Orang tua saya sangat senang, mereka malah
mau ikut ke sini!”
Kesempatan tak datang dua kali, saat Wahid
berhenti bicara aku membuka mulut. Belum keluar tanyaku tentang hubungannya dengan Teh Ratna, Wahid
sudah bicara lagi.
“Orang-orang kampung yang dulu merendahkan
usaha saya kini terbuka mata. Mereka gengsi bekerja di kebun, mereka tidak suka
kerja kasar, maunya enak saja tanpa usaha!” Wahid mengamati kebunnya.
“Saya salut dengan orang Jawa, mereka
jauh-jauh ke Aceh untuk bekerja. Mereka pun tidak memilih pekerjaan, sebagai
pekebun mereka handal dan bisa menghasilkan banyak uang.
Kebun-kebun mereka pun
tidak main-main, berhektar-hektar. Kebun saya tak ada bandingnya dengan kebun
orang-orang Jawa itu. Mereka mau membuka kebun setiap hari asal ada lahan
kosong!”
Aku benar. Aku tidak perlu bertanya
lagi mengenai penduduk pribumi yang tidak mau berkebun . Penduduk pribumi bukan
pekerja kebun seperti orang Jawa yang mampu membuka lahan perkebunan seluas
mungkin.
“Kami yang bekerja di kebun hanya sedikit,
kakak lihat sendiri di mana-mana semua orang Jawa. Mereka tidak malu kerja di
kebun, di terik matahari, di kala hujan, di malam buta mengusir babi dan hama.
Mereka melakukan dengan sungguh-sungguh dan hasilnya mereka bawa pulang ke
Jawa.
Kami di sini tinggal gigit jari, paling hanya bisa membuka lahan sekecil
punya saya ini, itu pun sudah kewalahan!”
Aku memilih mendengar. Masalah Wahid dengan
Teh Ratna terlupakan. Matanya menghampar luas ke depan, kebun Wahid memang
tidak sebesar kebun orang-orang Jawa.
Kebun Wahid hanya empat petak sawah. Kebun
orang-orang Jawa bisa empat kali lipat dari pada itu di tengah hutan belantara
ini.
“Kami buruh kasar, kak!” ujar Wahid menunduk. “Kakak
dan Kak Ratna bekerja di bawah rumah teduh, tak kena matahari dan tidak capai
badan. Uang masuk malah lebih kalian dari pada kami ini!”
Miris aku mendengar ucapan Wahid. Kuperhatikan
dia lekat-lekat. Ada kabut di pelupuk matanya. Ingin kuselami makna dari situ.
Secepat kilat Wahid
berpaling dan mengambil cangkul, dia kembali mencangkul ladang yang akan
ditanam palawija.
Kuberanikan diri bertanya, “Kamu suka sama Teh
Ratna ya?”
Tidak ada jawaban. Wahid terus mencangkul. Aku
terdiam di antara pohon-pohon besar mengelilingi kebun Wahid.
Aku menengadah,
melihat langit cerah. Berarak awan dibawa angin sesuka hati. Pertanyaanku tidak
tepat sasaran, bisa jadi Wahid tersinggung dengan pertanyaanku.
“Siapa yang tidak suka dengan Kak Ratna?
Orangnya baik, buk bidan, cantik juga…” Wahid membuka suara. Bergetir. Aku menelan
ludah. Pahit.
“Suka atau tidak tergantung pada orang yang
menilai, saya bisa suka dengan orang sesuka hati saya, tidak bisa dipaksa untuk
menyukai. Saya tidak suka dipaksa-paksa!” sebagai orang kampung yang
pengetahuannya sebatas berkebun, jawaban Wahid cukup dewasa.
Aku bisa mencium
aura ketidaksukaannya terhadap sesuatu.
Aku mengalih pembicaraan kami. Dia mulai
bercerita tentang keluarganya. Dia punya adik laki-laki, sedang kuliah di Banda
Aceh, dengan bangga dia mengatakan sesekali dia kirim uang hasil panen untuk
adiknya. Orang tuanya tinggal di kota Calang, ayahnya membuka toko kelontong
dan ibunya hanya ibu rumah tangga.
Awalnya Wahid juga membantu-bantu ayahnya bekerja di toko, setelah
bangkrut dua kali Wahid mengikuti saran pamannya berkebun ke Kampung Pedalaman.
Pamannya sudah dua tahun berbaur dengan orang Jawa, hasilnya rumah di dekat
rumah Wahid dibangun dua tingkat. Wahid meninggalkan toko, berangkat ke Kampung
Pedalaman.
“Buat apa saya malu? Orang-orang Jawa saja tidak malu!” kata
Wahid dalam. Aku mencoba mencari keraguan dari perkataannya, tetapi tidak
menemukan sesuatu yang janggal. Wahid benar-benar tulus mengucapkan kalimat
barusan. Sungguh pemuda berhati mulia.
Wahid berdehem. Aku memalingkan wajah,
menatapnya lekat-lekat. Biasanya, Wahid akan bersuara lagi kalau sudah begitu. Kusimak
sambil menghitung dalam hati, sampai hitungan ke sepuluh Wahid belum juga
mengeluarkan suara.
Kupatahkan ranting di dekatku berdiri. Mengayun
pelan. Menuju saung yang terbuat dari papan seadanya, atapnya daun rumbia,
tidak ada tangga, Wahid biasanya langsung meloncat masuk ke dalam saung.
Aku duduk menjuntai. Wahid masih mencangkul
tanpa menoleh ke arahku. Aku kehabisan kata-kata.
Kuperhatikan seisi saung, terdapat
sebuah kemeja lusuh tersangkut di tiang menghadap ke jalan, cerek warna perak,
gelas putih bermotif bunga ungu, sarung dan sajadah.
“Saya dengar kakak sakit, sudah sembuh?” Wahid
mengejutkanku. Rupanya dia sudah berdiri di depan saung. Persis di depanku. Jika
dia mencondongkan kepalanya ke dalam saung, penciumannya akan menyentuh tubuhku.
“Oh… iya,” jawabku gagap. Berbohong. Sakit
tidaknya aku hanya Teh Ratna yang tahu, kebohongannya menimbulkan tanda tanya
pada Wahid.
“Sudah sembuh?” Wahid mengulang kembali
pertanyaannya.
“Sudah, cuma butuh istirahat saja,” jawabku
asal.
“Kalau begitu istirahat saja, tak perlu
menemui saya di kebun, nanti kakak sakit lagi.”
Usai mengeluarkan kata yang menyakitkan
hatiku, Wahid menarik parang dari dalam saung. Kembali ke pekerjaan semula.
Benar,
Wahid sudah mengusirku, perkara ada hubungan dengan Teh Ratna aku akan buktikan
kemudian.
***
0 Response to "Segelas Pesan – Bagian 6"
Post a Comment